Melihat Akar

Negara sedang sibuk dengan penyelesaian masalah bencana,korupsi,TKI,tuntutan tunjangan profesi,sengketa wilayah,sengketa rumah ibadah,sengketa pilkada dan lain sebagainya. Rentetan persoalan yang seakan-akan tidak ada habis-habisnya memaksa pemerintah untuk mengeluarkan energi maksimal sehingga proses kerja hanya tercurahkan pada hal yang itu-itu saja. Akibatnya tidak ada satu prestasi yang mampu dibuat. Bahkan untuk sebuah ajang olahraga di tingkat asia pun Indonesia tidak mampu berkutik. Padahal jumlah penduduk Indonesia 235 juta jiwa(hasil statistik 2010) merupakan potensi besar dalam mencari bakat-bakat luar biasa yang dimiliki anak bangsa tanpa perlu melakukan naturalisasi seperti yang lagi tren di dunia sepakbola Indonesia.

Usaha untuk menyelesaikan persoalan pun tidak memberikan harapan yang membaik. Justru terombang-ambing karena sebuah kepentingan politik kelompok. Hal ini disebabkan karena memfokuskan penyelesaian masalah pada apa yang kelihatan saja. Sama seperti jika ingin membasmi rumput liar. Tidak cukup hanya memotong rumput tersebut lalu membakarnya. Namun perlu suatu usaha agar akar rumput tersebut juga ikut dimusnakan supaya rumput tidak bisa tumbuh lagi. Demikian halnya persoalan bangsa ini. Apa yang selama ini coba diselesaikan adalah hanya yang kelihatan dimata. KPK tangkapi koruptor, MK selesaikan sengketa pilkada, Satgas bongkar kasus mafia dan beberapa hal lainnya hanyalah pembasmian rumput liar dengan memotong. Tetapi akar dari rumput tersebut belum terjamah sampai sekarang.



Melihat akar.
Oleh karena itu perlu sebuah kejelian dalam melihat dimana yang menjadi akar dari segala persoalan bangsa ini, pendidikan adalah akarnya. Pendidikan adalah gerbang kehidupan. Karena itu pendidikan menjadi pionir utama dalam pembangunan masa depan suatu bangsa. Justru menjadi sumber segala sumber masalah yang membuat karakter anak bangsa menjadi acak-acakan seperti sekarang ini. Masalah-masalah tersebut baiknya diurai sebagai berikut:

Ada mafia yang lebih hebat dari gayus tambunan, bisa dilihat dari maraknya praktik pencaloan ketika akan masuk ke sekolah-sekolah favorit bahkan pada perguruan tinggi. Para orang tua rela untuk membayar berapa pun agar anaknya diterima di institusi tersebut. Hal lain juga dapat dilihat pada ujian nasional,para guru berubah menjadi mafia, yang menyelesaikan soal-soal dan memberikan jawaban bahkan mengisi sendiri lembar jawaban agar siswanya lulus.

Ada korupsi yang lebih parah dari miranda gultom. Korupsi yang terjadi memang tidak sebesar nominal kasus miranda gultom jika hanya dibandingkan dengan satu sekolah. Tetapi jika dibandingkan dengan seluruh sekolah di Indonesia bisa jadi melebihi nominal tersebut. Lemahnya pengawasan aliran dana BOS memberikan peluang untuk melakukan korupsi. Penelitian Bank Dunia 71,16% orang tua siswa tidak mengetahui laporan dana BOS. Menjadikan oknum-oknum pengelola sekolah mendapatkan hidden income dari dana BOS. Disamping itu praktek korupsi juga sangat nyata terasa yakni melalui grativikasi. Hal ini biasanya terjadi dibagian tata usaha sekolah. Ketika akan melegalisir ijazah,biasanya diberikan uang kepada pegawai tata usaha sekolah tersebut. Namun uang itu tidak masuk ke kas sekolah tetapi ke saku si pegawai. Ditingkat perguruan tinggi praktik jual beli nilai juga marak terjadi.

Ada pembantaian(pembunuhan karakter) yang lebih sadis dari pembantaian TKI. Kesalahan para siswa biasanya akan berbuah pada hardikan. Bahkan si guru akan memperlihatkan wajah yang seram dengan emosi yang berapi-api. Meskipun tidak melakukan pukulan seperti guru era 80-an. Karena takut terjerat UU Perlindungan anak. Sudah pasti akan menciutkan nyali si anak sehingga secara phisikologi membentuk karakter si anak menjadi orang yang takut berkreativitas, disebabkan ketakutan akan hardikan jika salah. Bahkan akan terpatrnn di kepalanya untuk menyelesaikan persoalan kesalahan dengan marah-marah.

Adanya kemalasan yang lebih lambat dari penanganan bencana. Jika di mentawai pemerintah lambat menangani bencana disebabkan birokrasi yang panjang dan faktor transportasi. Tetapi pada dunia pendidikan yang terjadi adalah kemalasan. Guru yang seharusnya setiap tahun ajaran baru wajib menyiapkan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran(RPP) justru tidak melaksanakannya. Evaluasi yang seharusnya dilaksanakan dengan patokan acuan tertentu juga tidak dilaksanakan,bahkan semua dibuat dengan instan saja.

Adanya kolusi yang lebih menjengkelkan dari kolusi wakil-wakil rakyat. Dalam kamus besar bahasa Indonesia kolusi adalah kerjasama rahasia untuk maksud tidak terpuji. Tindakan ini selalu terjadi setiap tahunnya pada ajang ujian nasional. Bahkan para guru kadang kala melakukan tindakan-tindakan sekongkol untuk menentang kepala sekolah jika melakukan tindakan-tindakan untuk mendisiplinkan para guru.

Adanya pencabulan yang lebih bejat dari prostitusi jalanan. Tidak jarang oknum guru melakukan pelecehan seksual kepada siswanya. Seperti baru-baru ini di pinangsori,kabupaten Tapanuli Tengah. Oknum seorang pendidik SMP Negeri 1 Pinangsori melakukan perbuatan amoral dengan mencabuli 19 anak didiknya. Padahal sekolah seharusnya jauh dari tindakan asusila. Disamping itu sekolah harusnya mampu membentuk moral siswa melalui mata pelajaran yang mengajarkan moral seperti agama atau PPKn. Namun kenyataannya para pelajar justru semakin tidak bermoral. Hal ini bisa dilihat dari banyaknya anak-anak usia remaja yang notabenenya adalah pelajar melakukan hubungan seks diluar nikah. Berdasarkan data dari BKKBN tingkat aborsi di Indonesia pertahun mencapai 2,4 juta jiwa, sebanyak 800 ribu diantaranya terjadi di kalangan remaja.

Itulah beberapa uraian kondisi yang terjadi di lingkungan pendidikan. Jelaslah bahwa embrio kekacauan bangsa ini ada di dunia pendidikan. Oleh karena itu negara ini perlu segera melakukan peninjauan terhadap kondisi pendidikan saat ini. Untuk menemukan formula yang mampu mengobati penyakit bangsa ini agar tercapai Indonesia yang memiliki keberesan ekonomi dan keberesan politik(sosio-demokrasi).

0 Komentar